Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Ligue 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ligue 1. Tampilkan semua postingan

Rabu Kelabu Buat PSG

Divisi satu Liga Prancis, kompetisi yang terkenal paling ketat persaingan angkanya selain Bundesliga, mulai membuat gerah Paris Saint-Germain (PSG), tim yang paling difavoritkan jadi juara pada musim 1995/96.
Rabu Kelabu Buat PSG
Leonardo Nascimento gagal mengalahkan Gueugnon.
Lihat saja penampilan pendana mereka awal tahun. Meski tidak kalah, namun klub yang berisikan multi bintang tersebut rugi berat lantaran diimbangi 1-1 oleh tim anak bawang Gueugnon di kandang sendiri, Stadion Parc des Princes, Paris, Rabu minggu lalu.

Kejutan seperti ini merupakan hal yang biasa terjadi di negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 1998 itu. Namun, bagi kaum Le Parisiens, hasil seri tentu saja tetap amat memalukan. Pasalnya, lawannya hanya Gueugnon - klub dari sebuah kota yang hanya berpenduduk 10.000 jiwa itu - adalah penghuni kelas bawah klasemen. Mereka juga baru promosi pada musim ini setelah betah puluhan tahun hanya bermimpi berlaga di Divisi Satu.

Namun perlawanan gigih tim berjuluk Blacksmith dalam meredam gempuran juara Piala Super Prancis 1995 dan perempatfinalis Piala Winner 1996 merupakan sebuah kesuksesan. Gol indah PSG lewat solo-run pemain nasional Youri Djorkaeff di menit ke-29, ditebus Philippe Bruniel, semenit menjelang jeda.

Bukan itu saja. Pelbagai variasi serangan pasukan yang dilatih Roland Gransart juga membuat kebat-kebit Alain Roche dkk. dan juga jantung para suporternya. Maka tak heran, setelah usai pertandingan sekitar 20.000 penonton menghujat pasukan yang dilatih oleh Luis Fernandez.

Cemoohan ungkapan rasa kecewa. Hal yang wajar mengingat dengan hasil seri ini, Metz dan Lens, dua tim yang juga tengah memburu sejarah baru, kini mulai membayangi PSG dengan ketat. Keduanya sudah memiliki nilai kepala empat. Dengan nilai 47, PSG memang masih aman berada di puncak singgasana. Tapi kehilangan dua angka secara sia-sia pada Rabu itu merupakan sebuah teguran halus bagi mereka bahwa tidak ada yang tidak mungkin di sepak bola.

(foto: et-provlepseis)

Share:

Multikompleks Liga Prancis

Untuk soal kerusuhan, ‘prestasi’ Prancis tidak kalah dari Italia, Belanda atau Inggris. Apalagi kalau berbicara soal kuantitas, tampaknya mereka malah unggul. Kalau di Inggris biasanya si pembuat ulah adalah pemain atau pengurus klub, dan di Belanda atau Italia para suporter, maka di Prancis bisa kedua-duanya bahkan lebih beraneka ragam lagi. Mengapa?

Corak keributan sepak bola di Prancis yang lebih bervariasi ini bisa jadi dipengaruhi oleh kehidupan sosial yang begitu kompleks. Misalnya masalah rasial. Kebencian sebagian masyarakat asli terhadap keturunan orang asing dan kebudayaannya, ikut andil dan tercurah di pertandingan sepak bola.

Jadi bukan melulu kericuhan antarsuporter belaka, tapi juga perusakan stadion dan fasilitas kota bahkan penjarahan toko seperti halnya di Belanda. Yang lebih spesifik lagi kerusuhan malah sering terjadi pada kompetisi divisi bawah atau di liga amatir sekalipun. Malah secara kualitas kerusuhan yang terjadi tidak kalah dengan kompetisi profesionalnya.

Belum lama ini seorang suporter klub lokal Parisien Berbers, Douadi Atou (22), tewas tertembak dalam kerusuhan pertandingan amatir antara klub itu melawan Drancy, 5 Februari lalu. Akibatnya seluruh kegiatan kompetisi amatir diistirahatkan seminggu. “Seluruh Prancis turut berduka cita dan kami akan menghentikan 6.800 partai di semua divisi selama seminggu,” kata Ketua Liga, Jean Verbeke.

Divisi Ricuh

Di Divisi Dua, Olympique Marseille tampaknya menjadi klub yang sering berurusan dengan Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) atau kepolisian. Setelah keributan yang diciptakan pendukungnya akhir tahun lalu, klub yang dicopot titelnya di Liga Champion 1992/93 dan didegradasi paksa dari divisi utama Liga Prancis akibat kasus suap, awal Februari lalu kembali mendapat teguran dari federasi sepak bola Prancis lantaran ulah pendukungnya.

Akhir tahun lalu, saat pertandingan divisi dua antara tuan rumah Marseille vs Nancy terjadi bentrokan massal antarsuporter. Pendukung tuan rumah merasa kecewa sekaligus tersinggung atas ulah pendukung Nancy yang mencemooh timnya begitu ditahan seri 2-2. Mereka langsung menyerang kubu lawan sehingga terjadi anarki di Stadion Velodrome.

Masih belum kapok, pendukung Marseille kembali memperlihatkan gejala serupa menjelang pertandingan Piala Prancis melawan Nice, awal Februari lalu. Beruntung Marseille menang 1-0 atas klub tetangganya itu. Pihak keamanan pun boleh merasa lega. Seminggu kemudian, hal serupa terjadi saat pertandingan Red Star melawan Ales.

Untuk hal yang satu ini, federasi sampai sekarang masih menundanya. “Kalau terus begini, citra sepak bola sebagai olah raga dan keindahan akan menghilang dan berganti dengan kekerasan,” kata Jean Claude Bras, Ketua Klub Red Star sambil mengeluh.
Multikompleks Liga Prancis
Bos Olympique Marseille, Bernard Tapie (tengah).
Jika dilebarkan lagi, bertebaran juga kasus suap, korupsi, pemecatan pelatih atau ketua klub. Bernard Tapie, presiden Olympique Marseille, klub yang sekarang berada di divisi dua, adalah contoh paling besar. Belum lama ini Roland Courbis, pelatih klub divisi dua Toulouse, juga dijatuhi hukuman tiga tahun penjara oleh pengadilan, akhir Januari lalu, karena terbukti menyalahgunakan keuangan.

Tampaknya FFF terus didera masalah, Bukan prestasi yang berbicara tapi anarki yang mencuat. Mereka harus bisa mengatasinya dengan tuntas, karena bisa jadi FIFA malah meragukan Prancis sebagai tuan rumah Piala Dunia 1998 mendatang.

(foto: adexsports/topeleven)

Share:

Lyon Bangkit Berkat Tigana

Meski dibayangi kerusuhan, kompetisi Divisi Satu Liga Prancis ternyata menyajikan partai menarik plus sejumlah kejutan baru. Ya, sepak bola memang selalu sulit diterka dan impossible is nothing. Ramalan para pakar, yang semula menjagokan Paris Saint-Germain tampil mempertahankan gelarnya, musnah sudah. Klub kebanggaan orang Paris itu ternyata sudah tak mampu lagi menyaingi the new power Nantes yang sampai saat ini belum terkalahkan.

Lyon Bangkit Berkat TiganaFenomena lain adalah tampilnya Olympique Lyonnais alias Lyon yang tiba-tiba saja menyeruak dengan menempel ketat Nantes di posisi kedua. Di Prancis hal tersebut jadi pembicaraan ramai mengingat klub yang dilatih Jean Amadou Tigana, mantan gelandang elegan nasional tahun 1980-an, pada musim ini tak dijagokan sama sekali, sekalipun menduduki papan atas.

Berkat Tigana pula, klub yang prestasinya hanya menjuarai Piala Liga 1964, 1967, dan 1973 ini meroket sekaligus mempermalukan para pakar yang sering meremehkan klub yang berdiri tahun 1950 itu. Apa rahasia Tigana? Kata banyak orang di Prancis, pertama-tama dia mengubah sistem permainan. Ya, tak pelak lagi berkat penempatan empat gelandang serta seorang pemain jangkar, Lyon mampu menyisihkan tim andal macam Bordeaux, Auxerre, Monaco atau PSG sendiri.

Hanya itu? Tentu tidak. Tigana juga mampu membangkitkan motivasi beberapa pemain veteran yang merasa ‘terbuang’ serta memberdayakan pemain muda. Kombinasi amunisi tua dan muda ini diduga dan dirasa menjadikan permainan Lyon dinamis yang berujung pada peningkatan kualitas. Sebut saja Manuel Amoros (asal Marseille), kiper Pascal Olmeta (Marseille), Jean Luc Sassus (PSG), atau Florian Maurice.

Bek kiri Amoros, 33 tahun, adalah mantan rekan Tigana yang bersama-sama Platini mengantarkan Prancis meraih prestasi tertinggi, merebut Piala Eropa 1984. Sementara Flo, sapaan akrab Maurice, sedang menemukan bintangnya. Striker berbakat berusia 19 tahun itu merupakan murni tempaan Tigana. Ia juga masuk daftar pencetak gol terbanyak 13 gol.

Menurut kabar, pelatih nasional Aime Jacquet sedang memikirkan untuk memasukkan nama Maurice guna menggantikan peran Jean Pierre Papin di tim nasional. Andai sanggup mempertahankan performanya, bisa dibayangkan andai di Piala Eropa 1996 mendatang, Maurice akan mengenakan kostum bernomor 9 di tim Les Bleus. Pelatih yang bagus adalah pandai memanfaatkan momentum. Tampaknya baik Tigana dan Jacquet masuk dalam kategori ini.

(foto: wiki)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini